Jakarta Bina TV, – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memerintahkan penarikan dan pemusnahan lima sirup obat yang memiliki kandungan Etilen Glikol (EG) melebihi ambang batas aman. Perintah tersebut dikeluarkan hari Kamis (20/10/2022), di tengah munculnya lebih 200 kasus ganguan ginjal akut di Indonesia yang sejauh ini menyebabkan setidaknya 99 anak meninggal dunia.
“BPOM telah melakukan tindak lanjut dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirup obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk,” demikian pernyataan BPOM.
“Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.”
Dari hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirup obat sampai dengan 19 Oktober 2022, diketahui adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk berikut:
- Termorex Sirup (obat demam), produksi PT Konimex, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
- Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
- Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
- Unibebi Demam Sirup (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
- Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Namun demikian, kata BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut, karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan penelitian Kemenkes mendeteksi tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut.
Bahan-bahan tersebut diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut yang ditemukan di Gambia, Afrika Tengah.
Karena itu, Kemenkes telah menyetop sementara penjualan dan penggunaan obat dalam bentuk cair atau sirup demi “menyelamatkan anak”.
Akan tetapi, pakar epidemiologi memandang situasi gangguan ginjal akut di Indonesia “sudah genting” dan “sangat serius”, sehingga perlu ditetapkan status kejadian luar biasa (KLB) gagal ginjal akut.
“Saya melihat ini sudah genting, sangat serius. Ketika kasus seperti ini terjadi, jelas itu adalah puncak gunung es. Kita tahu bagaimana surveilans kita, artinya korbannya jauh lebih banyak,” ujar pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, Rabu (19/10/2022).
Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama, menegaskan perlu dilakukan upaya maksimal untuk menyelidiki kejadian ini, “agar segera terjawab apa sebenarnya penyebabnya dan bagaimana penanggulangannya”.
Pada Kamis (18/10), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan penelitian Kemenkes mendeteksi tiga zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE) pada tubuh pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut.
“Ketiga zat kimia ini merupakan impurities [unsur pengotor] dari zat kimia ‘tidak berbahaya‘, polyethylene glycol, yang sering dipakai sebagai solubility enhancer [peningkat kelarutan] di banyak obat-obatan jenis sirup,“ papar Nadia.
Menurutnya, petugas Kemenkes telah mengambil obat jenis sirup dari rumah pasien balita yang terkena gangguan ginjal akut. Hasilnya, beberapa jenis obat sirup yang digunakan oleh pasien terbukti memiliki zat kimia EG, DEG, EGBE yang seharusnya tidak ada atau sangat sedikit kadarnya di obat-obatan sirup tersebut.
Itu sebabnya, kata Nadia, Kemenkes mengambil posisi konservatif melarang penggunaan obat-obatan sirup untuk sementara sambil menunggu BPOM memfinalisasi hasil penelitian kuantitatif mereka.
Per Selasa, 18 Oktober 2022, dilaporkan sebanyak 206 kasus gangguan ginjal akut pada anak terjadi di 20 provinsi di Indonesia, dengan tingkat kematian 99 kasus atau 48% dari seluruh kasus.
Sebanyak 65% pasien gangguan ginjal akut yang dirawat di rumah sakit rujukan RSCM di Jakarta, meninggal dunia.
Adapun BPOM telah melarang seluruh produk obat sirup anak maupun dewasa yang mengandung dietilen glikol dan etilen glikol.
Dua bahan tersebut diduga menjadi pemicu puluhan kasus gangguan ginjal akut yang ditemukan di Gambia, Afrika Tengah.
Dalam perkembangan terbaru, jumlah kematian anak akibat obat batuk sirup buatan India di Gambia meningkat menjadi 70 anak. BPOM memastikan empat obat batuk sirup penyebab gagal ginjal di Gambia itu, tak terdaftar di Indonesia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengungkapkan, dalam pemeriksaan yang dilakukan terhadap sisa sampel obat yang dikonsumsi pasien anak, ditemukan “jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progressive atypical.”
Untuk meningkatkan kewaspadaan untuk pencegahan, kata Syahril, pihaknya sudah meminta seluruh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan untuk sementara ini tidak meresepkan obat atau memberikan obat dalam bentuk cair atau sirup sampai hasil tuntas.
“Ini diambil langkah dengan maksud dugaan-dugaan ini sedang kita teliti. Untuk menyelamatkan anak-anak kita maka diambil kebijakan untuk melakukan pembatasan ini,” jelasnya dalam konferensi pers yang digelar Rabu (19/10).
Pembatasan ini tak hanya berlaku bagi obat cair atau sirup untuk anak saja, namun juga bagi dewasa.
Syahril menambahkan, Kementerian Kesehatan telah meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dalam bentuk cair atau sirup pada masyarakat, “sampai hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan BPOM tuntas”.
Tetapi, kebijakan penyetopan sementara obat cair atau sirup ini memicu kekhawatiran orang tua yang telah memberikan obat jenis itu kepada anak-anak mereka, seperti yang dialami ibu muda di Yogyakarta yang baru saja memberikan obat sirup Paracetamol kepada anak balitanya yang berusia empat tahun.
“Saya pribadi baru saja memberikan Paracetamol ke anak saya beberapa hari yang lalu dan udah terlanjur ngasihnya, kenapa baru sekarang? Padahal kasusnya kan sudah lama ya, sejak Juli sudah ada. Jadi ya khawatir sih akhirnya ke anak saya,” ujarnya.
Di Yogyakarta, tercatat ada 13 anak dengan gangguan ginjal akut, enam di antaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie, menjelaskan gejala umum yang dialami anak-anak tersebut.
“Kalau dilihat rentang tiga sampai lima hari itu salah satu tanda yang krusial urinenya tidak keluar seperti biasa atau tidak keluar urinenya,” jelasnya.
Berbeda dengan gangguan ginjal pada orang dewasa yang disebabkan karena hipertensi dan diabetes melitus, hingga kini memang belum diketahui dengan pasti penyebab gangguan ginjal pada anak.
“Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini karena penyebabnya ABC, ini perlu kehati-hatian. Jadi masih kita sebut unknown etiology, jadi memang tidak diketahui penyebabnya sampai nanti dari Kementerian Kesehatan akan memberikan informasi.”
Langkah pembatasan obat cair atau sirup yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, disambut positif oleh pakar epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman.
Namun dia menegaskan, perlunya mitigasi risiko agar masyarakat tidak khawatir dan bertanya-tanya tentang keamanan obat yang dikonsumsi anak mereka.
“Ini tentu harus ada opsi solusinya.”
Adapun, dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, disebut bahwa obat-obatan selain sirup dapat digunakan, sebab komponen untuk membuat obat sirup lah yang diduga menjadi penyebab gangguan ginjal akut, seperti halnya yang terjadi di Gambia.
Dokter bisa menggunakan obat penurun panas yang berbentuk tablet atau yang bisa dimasukkan secara anal, atau suppositoria, dan melalui injeksi.
Dicky Budiman menyoroti lemahnya kemampuan pendeteksian di Indonesia, yang dia anggap berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat gangguan ginjal akut.
Dia pun menegaskan sudah semestinya pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB).
“Ini sudah KLB atau kejadian luar biasa gagal ginjal akut yang terjadi di beberapa kota di Indonesia dengan case fatality rate yang tinggi dan ini tentu sangat logis dalam konteks Indonesia, karena di tengah lemahnya deteksi dini,” lanjut Dicky.
Situasi yang terjadi saat ini di Indonesia, bagi Dicky, sudah memenuhi kriteria KLB yang nantinya akan berdampak pada langkah-langkah yang dilakukan untuk mengatasi gangguan ginjal akut di Indonesia.
“Jadi aspek dukungan pembiayaan, dan juga kemudahan lainnya karena statusnya yang KLB itu. Selain tentu awareness dari setiap sektor akan semakin lebih meningkat.”
Saat ini, lanjut Dicky, kesadaran masyarakat yang masih rendah juga berkontribusi pada tingginya jumlah kasus dan angka kematian.
Menurut Dicky, health seeking behaviour atau perilaku yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan masyarakat Indonesia termasuk lemah di antara negara-negara ASEAN.
Sekitar 70% penduduk Indonesia, lebih memilih untuk mengobati sendiri jika sakit.
“Ini juga berperan. Jadi dari sisi layanan kesehatan yang memang masih minim dan terbatas, kemudian dari sisi masyarakat.”
“Dua ini yang saling berkontribusi kalau ada kasus seperti ini akhirnya banyak keterlambatan, terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosa, terlambat dirujuk dan terlambat ditangani,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, gangguan ginjal akut ini juga menimpa daerah-daerah yang terbatas layanan kesehatannya.
Saat ini, lanjut Dicky, kesadaran masyarakat yang masih rendah juga berkontribusi pada tingginya jumlah kasus dan angka kematian.
Menurut Dicky, health seeking behaviour atau perilaku yang dilakukan untuk memperoleh kesembuhan masyarakat Indonesia termasuk lemah di antara negara-negara ASEAN.
Sekitar 70% penduduk Indonesia, lebih memilih untuk mengobati sendiri jika sakit.
“Ini juga berperan. Jadi dari sisi layanan kesehatan yang memang masih minim dan terbatas, kemudian dari sisi masyarakat.”
“Dua ini yang saling berkontribusi kalau ada kasus seperti ini akhirnya banyak keterlambatan, terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosa, terlambat dirujuk dan terlambat ditangani,” katanya.
Apalagi, lanjutnya, gangguan ginjal akut ini juga menimpa daerah-daerah yang terbatas layanan kesehatannya.
Adapun gagal ginjal adalah ketika ginjal tak lagi bisa melakukan aktivitasnya sebagai alat metabolisme tubuh.
Itu ditandai dengan preferensi kencing, jumlah urine juga sangat sedikit. Bahkan kalau betul-betul terjadi kerusakan ginjal yang lebih berat, maka tidak terjadi produksi air kencing atau urine.
“Kenapa tingkat kematiannya tinggi? Itu dikarenakan dia sudah masuk ke fase itu.”
“Makanya pada saat ini kita sampaikan kepada masyarakat, kepada tenaga kesehatan, untuk lebih waspada dan lebih cepat untuk melakukan tindakan,” ujar Syahril.
Dia melanjutkan, jika orang tua mendapati anaknya memiliki gejala seperti frekuensi dan jumlah kencing yang menurun, dan disertai dengan demam, diare, mual, batuk, maupun pilek, untuk segera memeriksakannya ke dokter.
Adapun, mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama – yang juga mantan dirjen pengendalian penyakit di Kementerian Kesehatan – mengatakan kasus gangguan ginjal akut yang masih misterius “harus segera ditangani”.
“Penghentian obat sirup boleh-boleh saja tapi yang paling penting adalah penyebabnya apa. Apalagi, kasus gangguan ginjal akut pada anak ini telah terjadi selama beberapa pekan terakhir,” ujar Tjandra.
“Menurut saya harus jelas penyebebabnya apa. Kalau penyebabnya sudah jelas, maka upaya jadi jelas,” tegasnya kemudian.
Kalau memang diperlukan, tambah Trjandra, maka keadaan ini dapat saja dipertimbangan masuk dalam DONs (Disease Outbreak News) WHO untuk kewaspadaan negara-negara lain di dunia.