ARTIKEL ILMIAH TENTANG PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL, LUAS WILAYAH, DAN SISA LEBIH PEMBIAYAAAN ANGGARAN TERHADAP PENGALOKASIAN BELANJA MODAL

Studi Empiris pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2015-2019

Diajukan Sebagai Tugas Kelompok

Dosen : Bapak Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E.

Mata Kuliah : Perencanaan Pembangunan

Oleh :

DANIEL EBENEZER SILABAN 228114004

JANNES MAHARAJA 228114005

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU EKONOMI

PROGRAM DOKTOR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2023

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menemukan Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Luas Wilayah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap luas Pengalokasian Belanja Modal. Populasi dalam penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran Pada Tahun 2015 – 2019. Pemilihan sampel dengan menetapkan kriteria tertentu dan sampel yang memenuhi kriteria adalah sebanyak 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda dan uji t untuk melihat Pengaruh Desentralisasi Fiskal, Luas Wilayah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap luas Pengalokasian Belanja Modal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa: 1) Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal, 2) Luas Wilayah berpengaruh signifikan Positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal dan 3) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal.

Kata kunci : Desentralisasi Fiskal , Luas Wilayah , Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran , Pengalokasian Belanja Modal

 ABSTRACT

This study aimed to examine and determine the effect of Desentralisation Fiscal, Wide of Region, and Financing Surplus Budget Capital Expenditure of Capital Expenditure. Population in this research are resulted in Government Finance Report 2010 – 2014. The sample selection by specifying certain criteria and samples that meet the criteria are 19 Regency/ City in the province of West Sumatera . The analysis used is multiple linear regression and t test to see the effect of Desentralisation Fiscal, Wide of Region, and Financing Surplus Budget Capital Expenditure of Capital Expenditure. The results show that: 1) Desentralisation Fiscal has a not significant positive effect on the Capital Expenditure, 2) Wide of Region has a significant positive effect on the Capital Expenditure and 3) Financing Surplus Budget Capital Expenditure has a significant positive effect on the Capital Expenditure.

Keywords : Desentralisation Fiscal, Wide of Region,Financing Surplus Budget Capital Expenditure, Capital Expenditure.

 

PENDAHULUAN

Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1, Pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Diagram Proporsi TKDD terhadap Total Pendapatan APBD Tahun 2010-2019

Sumber: DJPK Kemenkeu, diolah, 2023

Diagram menunjukkan proporsi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah dalam APBD provinsi/ kabupaten/ kota selama tahun 2010 – 2019, yakni sebesar 18,1% di tahun 2010 dan meningkat secara fluktuatif hingga mencapai 24,5% di tahun 2019. Hal ini mendukung data sebelumnya bahwa tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap TKDD semakin menurun. Faktor penyebabnya antara lain inovasi pemungutan pajak dan retribusi yang belum optimal di daerah dan cenderung business as usual, masih belum tingginya awareness dan compliance wajib pajak, ataupun karena sistem perpajakan yang belum efektif dan efisien di daerah. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa tingginya tarif pajak dan retribusi dapat menciptakan high cost economy dan menjadi disinsentif bagi masuknya investasi asing maupun domestik.

Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) dikarenakan pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Program peningkatan kesejahteraan masyarakat ditandai dengan kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat, tersedianya layanan umum dan layanan sosial yang cukup dan berkualitas, perbaikan dan penyediaan kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, penambahan perbaikan di bidang infrastruktur, bangunan, peralatan dan harta tetap lainya. Daerah yang dikatakan mandiri adalah daerah yang dapat membiayai kebutuhan semua belanja modalnya dengan menggunakan dana dari Pendapatan Asli Daerah tanpa harus meminjam dan tergantung dari bantuan pemerintah pusat.

Belanja modal merupakan belanja yang menambah aset tetap pemerintah atau biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barangbarang modal yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain pembelian tanah, gedung, mesin dan kendaraan, peralatan, instalasi dan jaringan, furniture, software, dan sebagainya (Erlis, 2014). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang sistem Akuntansi Pemerintahan, ditegaskan bahwa belanja modal ini ialah alokasi pengeluaran anggaran yang digunakan untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang dapat memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.

Grafik 1.1 Rata-Rata Belanja Modal Pada 23 Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019 (%)

Berdasarkan grafik 1.1, dapat dilihat bahwa belanja Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara tahun 2015-2019 menunjukkan rata-rata setiap tahunnya belanja modal dibawah 30%, yaitu lebih rendah daripada belanja pegawai maupun belanja barang dan jasa. Hal ini belum memenuhi target dalam RPJMN tahun 2015-2019 dimana secara keseluruhan belanja modal yang dialokaksikan dalam APBD sekurang-kurangnya adalah 30% dari belanja daerah.

Dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan daerah, Belanja Modal memiliki peranan yang amat penting terkait dengan peningkatan sarana dana prasarana publik pada suatu daerah. Belanja Modal memiliki peranan penting karena memiliki masa manfaat jangka panjang untuk memberikan pelayanan kepada publik.

Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan Pemda dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik yang dapat dilakukan dengan peningkatan investasi modal dalam bentuk asset tetap, yakni peralatan, pembangunan,

infrastruktur dan harta tetap lainnya (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). . Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk halhal produktif, misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Darwanto dkk (2006) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik.

Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja untuk kepentingan publik. Dengan demikian, pemerintah daerah harus mampu mengalokasikan belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Otonomi daerah merupakan kebijaksanan desentralisasi yang dilakukan pemerintah pusat. Menurut Dilliger, dalam Sidik, (2002), pada dasarnya terdapat empat jenis desentralisasi, yaitu: Desentralisasi politik (political decentra-lization), yaitu pemberian hak kepada warga Negara melalui per-wakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik, desentralisasi administrative (administrative decentrali-zation), yaitu pelimpahan wewenang guna mendistribusikan wewenang, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik, terutama yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi-fungsi pemerintah-an dari pemerintah pusat kepada aparat di daerah, badan otoritas ter-tentu atau perusahaan tertentu. desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumbersumber keuangan dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentrali-zation), yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi.

Menurut Prawirosetoto (2002), desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (public goods/public service). Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing.

Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan undang-undang nomor 34 tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang nomor 18 tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan peraturan pemerintahn nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Desentralisasi fiskal itu sendiri dapat memberikan manfaat yang optimal apabila diikuti dengan kemampuan finansial yang memadai oleh daerah yang otonom.

Pemerintah daerah yang diberikan kewenangan juga tentu diharuskan untuk senantiasa menggali setiap potensi daerahnya agar mendapatkan sumber-sumber penerimaan untuk membiayai pengeluaran pembangunan pemerintah daerahnya. Baik itu dari pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain. Karena daerah yang mampu memperoleh pendapatan yang lebih dari hasil usahanya sendiri akan mempunyai posisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan daerah yang hanya juga akan lebih fleksibel dalam mengelola keuangannya.

Desentralisasi fiskal dalam penelitian ini adalah proksi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil pajak dan bukan pajak dengan realisasi pengeluaran total pemerintah. Selain itu penjelasan UndangUndang nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah disebut ada beberapa variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana publik disetiap daerah. Dua diantaranya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk. Daerah dengan wilayah yang lebih luas tentulah membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas (kusnandar dan Siswantoro 2012).

Daerah yang mempunyai wilayah yang cukup luas hal itu justru akan memakan biaya pembangunan yang cukup besar. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut, maka pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup besar jika ingin daerah tersebut benar-benar maju dan sejahtera. Untuk mewujudkan itu semua maka pemerintah harus cerdas dalam mengalokasikan penerimaan dan pengeluaran yang akan dibawa oleh pemerintah untuk mewujudkan daerah yang sejahtera. Sumber pendanaan lainnya untuk alokasi belanja modal penyediaan berbagai fasilitas publik adalahpenerimaan daerah yang bersumber dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun anggaran sebelumnya.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006, SILPA merupakan sisa dana yang diperoleh dari aktualisasi penerimaan serta pengeluaran anggaran daerah selama satu periode. Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar & Siswantoro (2012) menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan yang positif serta signifikan SILPA terhadap belanja modal. Menurut Kusnandar dan Siswantoro (2012) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan SILPA tahun sebelumnya, dengan adanya anggaran yang menganggur dapat dialokasikan untuk belanja yang memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi laju pertumbuhan ekonomi nasional. 4 Kondisi demikian memberikan informasi bahwa SILPA adalah salah satu sumber pendanaan belanja modal.

SILPA menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Jumlah SILPA yang ideal perlu ditentukan sebagai salah satu dasar evaluasi terhadap pelaksanaan program/kegiatan pemerintah daerah kota/kabupaten. Pelampauan target SILPA yang bersumber dari pelampauan target penerimaan daerah dan efisiensi sangat diharapkan, sedangkan yang bersumber dari ditiadakannya program/kegiatan pembangunan terlebih dalam jumlah yang tidak wajar sangat merugikan masyarakat. Sejauh ini mekanisme penggunaan SILPA bersifat pro dan kontra. Penggunaan SILPA yang bersifat pro yaitu terhadap pengalokasian belanja modal. Kontra yang terjadi pada pengalokasian SILPA terhadap belanja pegawai. Sebagian besar SILPA di sumbangkan ke belanja langsung berupa belanja modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya penggunaan dana SILPA masuk ke belanja pegawai. SILPA juga digunakan untuk permasalahan krusial yang sebelumnya sudah disetujui oleh pihak legislatif. SILPA yang cenderung besar menunjukkan lemahnya eksekutif di bidang perencanaan dan pengelolaan dana (Ardhini, 2011).

Moral hazard pemerintah daerah dalam hal ini patut dipertanyakan, karena perlu adanya kejelasan penggunaan SILPA untuk belanja publik ataupun belanja aparatur semata. Dari hasil pemaparan diatas dapat kita cermati bahwa ada suatu keterkaitan antara desetralisasi fiskal, luas wilayah, sisa lebih pembiayaan aanggaaran, dengan alokasi belanja modal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Havid Sularso dan Yanuar E. Rerstianto (2011 : 122) yang menyatakan bahwa alokasi belanja modal dipengaruhi oleh kinerja keuangan. Namun secara empiris belum ada bukti mengenai keterkaitan langsung antara desentralisasi fiskal dengan alokasi belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Erlis mengatakan bahwa luas wilayah tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Kusnaandar dan Siswaantoro (2012) luas wilayah berpengaruh terhadaap belaanja modal. Sementara itu SILPA dalam hubungannya dengan belanja modal telah diteliti oleh Ardhini (2011) dengan hasil bahwa SILPA berpengaruh terhadap belanja modal.

Namun, kenyataan yang terjadi pada beberapa darah di Kabupaten /Kota Di Provinsi Sumatera Utara adalah meningkatnya belanja modal dibarengi dengan meningkatnya SiLPA. Padahal seharusnya dengan meningkatnya belanja modal akan membuat SiLPA semakin sedikit. Seperti yang dapat dilihat pada tabel Realisasi Belanja modal dan Realisasi SiLPA Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara lima tahun terakhir yaitu tahun 2015-2019 berikut ini :

Tabel 1.1 Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019

 

Kabupaten/Kota

BELANJA MODAL

2015

2016 2017 2018

2019

 

Kab. Toba Samosir

 955,279,069  1,000,908,609 1,100,661,584,284 1,055,027,173,780

 1,127,206,844,231

 

Kab. Mandailing Natal

 1,365,524,435  1,588,762,382  1,561,204,713,766 1,506,945,739,448

 1,708,323,891,466

 

Kab. Labuhanbatu

 1,062,540,861  1,276,690,077 1,259,797,171,354 1,150,307,799,141

1,548,782,795,200

 

Kab. Nias

 789,785,824 898,819,234 881,983,873,162  930,217,782,108

 834,855,467,151

Kab. Simalungun

2,269,698,962,408

2,423,685,403,258

1,938,855,538

2,358,581,019

2,382,381,117,269

 

Kab. Dairi

965,534,140

1,116,793,269 1,146,806,000,882 1,146,806,000,882

1,192,859,458,000

Kab. Labuhanbatu Selatan

826,956,634

895,434,495 900,442,780,998 870,934,573,887

990,060,314,190

 

Kab. Deli Serdang

2,901,970,267

3,538,303,239 3,377,738,242,085 3,422,610,573,015

4,016,480,823,937

 

Kab. Tapanuli Tengah

1,065,509,039

1,195,876,244 1,120,351,198,333 1,150,971,725,737

1,244,399,128,000

Kab. Humbang Hasundutan

899,990,938

984,718,661 959,187,459,359 918,952,770,451

1,068,498,296,865

 

Kab. Tapanuli Selatan

1,156,981,129

1,244,945,252 1,196,223,540,989 1,315,039,876,708

1,475,030,949,305

 

Kab. Tapanuli Utara

1,228,084,531

1,311,177,090 1,203,503,299,521 1,293,977,148,594

1,374,949,089,474

 

Kab. Samosir

848,772,661

910,073,968 864,087,171,199 803,883,721,733

888,408,177,133

 

Kab. Batu Bara

918,925,955

960,904,109 1,065,893,057,426 996,421,074,024

1,226,014,364,328

Kab. Padang Lawas Utara

803,099,941

1,115,416,292 1,185,284,306,868 1,081,855,421,645

1,226,920,720,637

 

Kab. Nias utara

686,045,781

810,630,276 722,898,158,998 745,799,698,074

839,625,586,000

 

Kota Sibolga

676,161,748

643,323,810 597,867,532,072 636,738,976,517

670,105,520,418

 

Kota Padang Sidempuan

843,296,841

777,000,607 833,862,860,721 821,661,404,531

879,748,745,321

 

Kota Tanjung Balai

573,499,069

723,336,004 644,010,084,265 657,820,622,732

862,006,552,935

 

Kota Medan

4,705,553,863

5,385,363,853 4,395,825,169,225 4,215,003,353,126

6,134,655,766,238

 

Kota Gunung Sitoli

714,804,376

772,170,728 778,005,373,505 702,837,581,848

900,840,799,374

 

Kota Binjai

938,018,114

1,027,217,336 849,614,204,509 934,603,498,530

867,761,218,147

Kota Pematang Siantar

 

971,658,119

 

1,054,992,391

 

934,471,598,873

 

994,512,015,481

 

1,068,339,717,250

Sumber : www.djpk.kemenkeu.go.id (data diolah)

 

Tabel 1.2 Realisasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019

 

Kabupaten/Kota

SiLPA

2015

2016 2017 2018

2019

 

Kab. Toba Samosir

 

107,760,000,000

 

71,742,315,864

 

109,466,369,893

 

54,994,440,231

 

57,042,472,940

Kab. Mandailing Natal  

115,691,000,000

 

81,023,734,262

 

13,000,000,000

 

10,003,415,645

 

26,425,237,255

 

Kab. Labuhanbatu

 

42,286,025,537

 

120,847,378,968

 

18,127,093,937

 

138,518,217,000

 

80,599,812,000

 

Kab. Nias

 

121,868,000,000

 

142,119,953,814

 

127,169,385,916

 

209,000,000,000

 

32,250,000,000

 

Kab. Simalungun

 

103,269,000,000

 

121,547,237,263

 

21,908,809,436

 

1,000,000,000

 

3,500,000,000

 

Kab. Dairi

 

94,271,905,688

 

141,523,424,284

 

141,523,424,284

 

40,000,000,000

 

45,000,000,000

Kab. Labuhanbatu Selatan  

53,026,126,783

 

67,084,087,512

 

35,798,687,314

 

40,772,631,350

 

50,000,591,000

 

Kab. Deli Serdang

 

156,663,000,000

 

258,613,972,572

 

198,810,731,378

 

405,000,000,000

 

405,000,000,000

Kab. Tapanuli Tengah  

93,198,802,569

 

68,928,299,109

 

38,653,948,010

 

15,422,000,000

 

25,629,980,000

Kab. Humbang Hasundutan

 

127,692,000,000

 

137,823,894,699

 

126,725,260,328

 

65,701,665,374

 

72,087,873,532

Kab. Tapanuli Selatan  

36,168,214,005

 

54,766,368,715

 

40,755,368,007

 

30,222,110,544

 

54,199,745,993

 

Kab. Tapanuli Utara

 

119,290,000,000

 

55,710,584,792

 

60,633,554,852

 

45,859,030,605

 

25,734,325,326

 

Kab. Samosir

 

105,244,000,000

 

73,916,690,800

 

32,001,197,011

 

5,000,000,000

 

15,423,762,938

 

Kab. Batu Bara

 

124,893,000,000

 

89,829,016,945

 

86,190,309,300

 

95,740,834,935

 

30,500,000,000

Kab. Padang Lawas Utara  

102,036,000,000

 

111,118,709,921

 

39,413,288,307

 

30,000,000,000

 

32,826,000,000

 

Kab. Nias utara

 

69,881,780,220

 

45,147,533,253

 

12,992,727,960

 

2,000,000,000

 

25,725,350,000

 

Kota Sibolga

 

81,182,196,224

 

22,791,904,871

 

34,027,054,886

 

1,151,639,045

 

5,000,000,000

Kota Padang Sidempuan  

45,111,412,833

 

5,194,711,890

 

24,510,929,434

 

14,088,503,143

 

16,222,934,000

 

Kota Tanjung Balai

 

85,611,372,432

 

75,891,821,787

 

340,087,903,057

 

26,000,000,000

 

3,600,000,000

 

Kota Medan

 

252,576,000

 

35,461,191,560

 

43,701,504,536

 

35,881,742,000

 

100,000,000,000

 

Kota Gunung Sitoli

 

129,865,000,000

 

130,087,094,794

 

43,505,020,376

 

11,042,381,450

 

21,000,000,000

 

Kota Binjai

 

51,993,127,117

 

18,163,184,659

 

45,624,838,946

 

500,000,000

 

10,238,146,954

Kota Pematang Siantar

 

72,961,236,186

 

158,256,061,461

 

85,512,687,889

 

35,000,000,000

 

97,044,273,457

Sumber : www.djpk.kemenkeu.go.id(data diolah)

 

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa belanja modal kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara mengalami kenaikan dan juga penurunan setiap tahunnya. Sebagaimana data yang tercantum dalam tabel 1.1 dan 1.2 tersebut terdapat beberapa kasus dimana ketika SiLPA mengalami peningkatan, Belanja Modal justru malah mengalami peningkatan.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka disusunlah perumusan masalah sebagai berikut :

  1. Sejauhmana Desentralisasi Fiskal berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal?
  2. Sejauhmana Luas Wilayah berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal?
  3. Sejauhmana Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal?

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

  1. Pengaruh Desentralisasi Fiskal berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal.
  2. Pengaruh Luas Wilayah berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal.
  3. Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal.

Manfaat penelitian ini adalah :

  1. Bagi Peneliti

Untuk menerapkan ilmu yang didapat serta melatih proses berpikir secara ilmiah, khususnya dalam bidang pemerintah daerah.

  1. Bagi Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan koreksi dalam Pengalokasian Belanja Modal pemerintah daerah.

  1. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat di kembangkan oleh peneliti lain sebagai acuan referensi lebih lanjut mengenai desentralisasi fiskal, luas wilayah dan SILPA terhadap alokasi belanja modal.

TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

1.Belanja Modal

Peraturan menteri keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar mendefenisikan belanja modal sebagai pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap dan aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah, dimana aset tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Di dalam ketentuan kementrian keuangan republik indonesia, Direktorat jendral anggaran, Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Belanja modal menurut Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan adalah pengeluaran anggaran yang digunakan untuk memperoleh aset tetap dan aset lainya. Belanja modal mencakup belanja modal untuk pemeroleh tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud. Belanja modal dapat dikalsifikasiakan menjadi dua kelompok, yaitu belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat sedangkan belanja aparatur adalah hasil belanja pemerintah yang langsung dapat dirasakan langsung oleh aparatur pemerintahan Belanja Modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemda, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap pemerintah daerah. Secara teoritis ada tiga cara memperoleh aset tetap tersebut, yaitu dengan cara membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, di dalam pemerintahan biasanya diperoleh dengan cara membeli yang umumnya dilakukan dengan proses lelang atau tender yang cukup rumit (Abdullah dan halim, 2006).

Belanja modal merupakan belanja yang menambah asset tetap pemerintah atau biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barangbarang modal yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain pembelian tanah, gedung, mesin dan kendaraan, peralatan, instalasi dan jaringan, furniture, software, dan sebagainya (Erlis, 2014). Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal meruapakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemeritnah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemda mangalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal tersebut didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemda sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

2.Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal menurut M.P, Andos (2006:7) merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia diatur dalam undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah dan undangundang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, dimana desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa desentralisasi memberikan ruang gerak yang lebih bagi pemerintah daerah untuk berimprovisasi dalam hal pemanfaatan sumber daya dan potensi daerah serta kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan daerah, seperti pelaksanaan tugas-tugas rutin, pelayanan publik, dan peningkatan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrument yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 2002). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006).

Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008).

Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Di indonesia, pelaksanaan Desentralisasi Fiskal sebagai salah satu instrument kebijakan pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan antara lain (Mardiasmo,2009) :

  1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance).
  2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah.
  3. Meningkatkan efisiensi peningkatan sumber daya nasional
  4. Tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran.
  5. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.

3.Luas Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Ardhini, 2011). Luas wilayah dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah realisasi belanja modal pemerintah yang erat kaitannya 8 dengan peningkatan pelayanan publik. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan pemerintah daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik.

Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka luas wilayah kemungkinan erat kaitannya dengan penganggaran belanja modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran tentunya berupaya membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas layanan publik yang lebih layak terutama di wilayah-wilayah yang belum menikmati pembangunan layanan publik seperti Rumah Sakit/Puskesmas, Gedung Sekolah, pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan kota yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah-wilayah yang belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas daerah yang perlu dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus dianggarkan. Luas wilayah dalam penelitian ini merupakan ukuran besarnya daerah wewenang suatu pemerintahan yang dapat diukur dengan satuan angka. Yang mana luas wilayah antara satu daerah dengan daerah yang lainnya memiliki luas yang tidak sama, sehingga kebutuhan akan sarana dan prasarana serta potensi yang dimiliki antara satu daerah dengan daerah yang lainnya pun berbeda.

4.Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)

SILPA menurut PP No 58 tahun 2005 merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Jumlah SILPA yang ideal perlu ditentukan sebagai salah satu dasar dalam evaluasi pelaksanaan program/kegiatan pemda kota/kabupaten. SILPA tahun anggaran yang sebelumnya yang terdiri dari realisasi penerimaan PAD, realisasi penerimaan dana perimbangan, penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, realisasi penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai akhir tahun belum terealisasikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

SILPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. Dalam PP Nomor 71 Tahun 2010, SILPA merupakan selisih lebih yang dapat dihitung dengan membandingkan realisasi pendapatan- LRA dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN/APBD selama satu periode pelaporan SILPA merupakan suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SILPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SILPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008).

Sebagian besar SILPA disumbangkan ke Belanja Langsung berupa Belanja Modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Jumlah Belanja Langsung berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan aset, dan sebagainya (Ardhini, 2011). Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun anggaran harus dianggarakan dalam APBD (Kawedar, 2008). Besaran SILPA yang masih tinggi membawa dampak positif dan negatif bagi daerah, dampak positifnya adalah adanya imbal balik yang diterima Pemda dari SILPA yang disimpan di perbankan yaitu dapat berupa giro atau pendapatan bunga yang masuk dalam akun lain-lain PAD yang sah dan juga penambahan anggaran belanja untuk tahun berikutnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya belanja yang tertunda.

5.Evaluasi Penelitian Terdahulu

Terdapat penelitian-penelitian yang relevan yang dapat digunakan sebagai referensi yang berkaitan dengan variabel-variabel yang dibahas dalam penelitian kali ini antara lain:

  1. Kusnandar dan Dodik (2012) meneliti tentang pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah terhadap belanja Modal. Hasil pengujian tersebut secara empiris membuktikan bahwa besarnya alokasi belanja modal di pengaruhi oleh DAU,PAD,SILPA, dan luas wilayah. Secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan PAD,SILPA, dan luas wilayah berpengaruh.
  2. Havid Sularso dan Yanuar E. Rerstianto (2011) tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Kinerja Keuangan terhadap Pengalokasian Blanja Modal. Hasilnya menunjukan bahwa Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan tehadap Belanja Modal. Sedangkan Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal
  3. Yovita (2011) meniliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah provinsi se Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Anggran Belanja Modal. sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak berpengaruh signifikan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.
  4. Menez (2015) meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal Studi Empiris Pada Kabupaten Di Karesidenan Pati Periode 2009-2013. Hasil penelitiannya menunjukan DAU mempunyai pengaruh signifikan terhadap belanja modal, sedangkan variabel PAD, SiLPA dan Luas Wilayah tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
  5. Nuarisa (2012) meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Hasilnya juga Menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal.

Hubungan Antar Variabel

  1. Hubungan antara Desentralisasi fiskal dan Pengalokasian Belanja Modal.

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan dengan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat setempat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004). Kemampuan daerah untuk menyediakan sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi daerah setempat menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu meciptakan penerimaan daerah untuk membiayai pembangunan tersebut. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Salah satu cara untuk menigkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang direalisasikan melalui belanja modal (Solikin,2010).

Menurut Halim (2001:28) Desentralisasi fiskal diproksi dengan rasio antara Pendapatan Alsi Daerah (PAD) ditambah dana bagi hasil pajak dan bukan pajak dengan realisasi pengeluaran total pemerintah kabupaten/kota dalam satuan desimal. Penelitian yang dilakukan oleh Arsa (2015) menunjukan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa Desentralisasi Fiskal yang diproksi dengan besarnya rasio antara Pendapatan Asli Daerah ditambah Dana Bagi Hasil Pajak dan 11 Bukan Pajak dengan realisasi pengeluaran toal pemerintah menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP no. 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilakan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diteima yang di proksikan ke dalam Desentralisasi Fiskal. Sehingga apabila Pemda ingin menigkatkan belanja modal

untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali penerimaan yang sebesar-besarnya.

  1. Hubungan Luas Wilayah dan Pengalokasian Belanja Modal.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. (Kusnandar dan Siswantoro, 2012) Kaitan antara Luas Wilayah Daerah daerah dengan alokasi Belanja Modal yang kemudian dihubungkan dengan adanya hubungan keagenan hal ini dapat terlihat ketika suatu daerah ingin melakukan pemekaran wilayah dimana disitu terjadi konflik antara daerah dan pusat. Daerah mengalami kecemburuan sosial pada pusat karena alokasi dan distribusi pendapatan yang dikembalikan dari pemerintah pusat ke daerah dari hasil eksplorasi sumber-sumber daya di daerah dirasa kurang adil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Dodik (2009), luas wilayah daerah memang mempunyai pengaruh yang positif terhadap anggaran Belanja Modal. Namun jika dianalisis, daerah yang mempunyai wilayah yang cukup luas hal itu justru akan memakan biaya pembangunan yang cukup besar. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut, maka pemerintah harus menyediakan anggaran yang cukup besar jika ingin daerah tersebut benar-benar maju dan sejahtera. Untuk mewujudkan itu semua maka pemerintah harus cerdas dalam mengalokasikan penerimaan dan pengeluaran yang akan dibawa oleh pemerintah untuk mewujudkan daerah yang sejahtera.

  1. Hubungan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Pengalokasian Belanja Modal.

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode 12 anggaran. SILPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. Dibandingkan rencana anggaran yang disahkan pada awal tahun (APBD-M), SILPA lebih diesbabkan oleh kegagalan dalam merealisasikan belanja dibandingkan keberhasilan reaslisasi pendapatan. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011) menunjukan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja Modal. Hal ini mengindikasikan bahwa SILPA tahun sebelumnya sangat berpngaruh pada alokasi belanja tahun berikutnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar (2012).

Menurut Kusnandar dan Siswantoro (2012) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan SILPA tahun sebelumnya, dengan adanya anggaran yang menganggur dapat dialokasikan untuk belanja yang memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kondisi demikian memberikan informasi bahwa SILPA adalah salah satu sumber pendanaan belanja modal. Mahmudi (2010) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja untuk tahun anggaran berikutnya. SILPA sebenarnya merupakan indikator yang menggambarkan efiseinsi pengeluaran pemerrintah, karena SILPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus ternjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen Penerimaan lebih besar dari komponen Pengeluaran Pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008). Hipotesis Berdasarkan teori dan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dibuat beberapa hipotesis terhadap permasalahan sebagai berikut : H1 : Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal. H2 : Luas wilayah berpengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal. H3 : Sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian kausatif.

Populasi dan Sampel

  1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kabupaten / Kota se Provinsi Sumatera Utara.

  1. Sampel

Sampel penelitian adalah 19 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Jenis dan Sumber Data

  1. Jenis data Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain. Penelitian ini menggunakan pooled data, yaitu kombinasi antara data time series dengan data cross section selama periode tahun 2010 sampai dengan 2014.
  2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan realisasi anggaran pendapatan belanja daerah atau (APBD) kota / kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Provinsi Sumatera Utara, dan data Luas Wilayah diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik dokumentasi, yakni peneliti melakukan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Provinsi Sumatera Utara. selain itu, peneliti juga melakukan studi kepustakaan melalui buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Variabel Penelitian dan Pengukuran

  1. Variabel Dependen (Terikat)

Variable terikat (dependent variable) adalah variabel yang menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan. Pengamatan akan dapat mendeteksi ataupun menerangkan variabel dalam variabel terikat beserta perubahan yang terjadi kemudian. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pengalokasian belanja modal (Y). Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum (Halim, 2004 : 73). Besarnya belanja modal dapat dilihat dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada bagian belanja aparatur daerah dan balanja pelayanan publik.

  1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel bebas (independen variable) adalah variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel terikat (dependent variable) dan mempunyai pengaruh positif ataupun negative bagi variabel terikat nantinya.

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah:

1.Desentralisasi Fiskal ( X1),

2.Luas Wilayah (X2), Luas Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional kecil (Siswantoro, 2012). Luas Wilayah Daerah daerah diukur dengan melihat berapa Luas Wilayah Daerah tersebut.

  1. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (X3).

Uji Normalitas

Dari uji normalitas pada penelitian ini terlihat bahwa hasil uji normalitas menunjukkan sig > 0,05 yaitu 0,669 > 0,05 yang berarti bahwa data terdistribusi secara normal. Uji Multikolinearitas Dari uji multikolinearitas pada penelitian ini terlihat nilai VIF untuk variabel Desentralisasasi Fiskal sebesar 1,371dan nilai Tolerance sebesar 0,729. Variabel Luas Wilayah nilai VIF sebesar 1,409 dan nilai Tolerance sebesar 0,710.

Pada variabel Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) memiliki nilai VIF sebesar 1,181 dan nilai Tolerance sebesar 0,847. Masing-masing variabel terlihat memiliki nilai VIF < 10 dan nilai Tolerance > 0,1 sehingga bisa dikatakan bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas.

Uji Heteroskedastisitas

Dari uji heteroskedastisitas dapat dilihat bahwa hasil perhitungan masing-masing variabel menunjukkan bahwa hasil perhitungan masing-masing variabel menunjukkan bahwa level sig > 0,05 yaitu 0,854 untuk variabel Alokasi Belanja Modal, nilai sig Luas Wilayah sebesar 0,936 dan variabel Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) memiliki nilai sig sebesar 0,071. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini bebas dari gejala heteroskedastisitas dan layak untuk diteliti. Uji Autokorelasi hasil uji autokorelasi dapat diketahui bahwa nilai DW sebesar 1,717 .

Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai Tabel Durbin Watson d Statistik : Significance Point For dl and du AT0,05 Level of Significance. Jumlah sampel (N) dalam penelitian ini adalah 95 dan jumlah variabel independennya adalah 3 (k=3), maka dari Tabel Durbin Watson akan didapatkan nilai batas bawah (dL) adalah 1,596 dan nilai batas atas (du) adalah 2,404. Jika dilihat dari pengambilan keputusan termasuk dU < dW < 4-dU (1,596 < 1,717 < 4 – 2,404), dapat disimpulkan tidak terjadi autokorelasi antar variabel independen, sehingga model regresi layak digunakan. Uji Koefisien Determinasi Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa nilai adjusted R square adalah 0,097.

Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen adalah sebesar 9,7% sedangkan 90,3% ditentukan oleh faktor lain diluar penelitian. Uji F (Simultan) Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dapat dilihat bahwa hasil uji F mempunyai signifikansi sebesar 0,007 dimana sig 0,007 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen secara bersama-sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Ini berarti bahwa persamaan regresi yang diperoleh dapat diandalkan atau model yang digunakan sudah fix.

Uji t (Hipotesis)

1) Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah Desentralisasi Fiskal (X1) berpengaruh signifikan positif terhadap Alokasi Belanja Modal (Y). Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Desentalisasi Fiskal memiliki nilai koefisien bernilai positif sebesar 0,037 dan nilai probabilitas 0,767 > 0,05. Artinya Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian hipotesis pertama (H1) ditolak.

2) Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah Pengaruh Luas Wilayah (X2) berpengaruh signifikan positif terhadap Alokasi Belanja Modal (Y). Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Luas Wilayah memiliki nilai koefisien bernilai positif sebesar 0,048 dan nilai probabilitas 0,016 < 0,05. Artinya Luas Wilayah berpengaruh signifikan positif terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian hipotesis kedua (H2) diterima.

3) Hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (X3) berpengaruh signifikan positif terhadap Alokasi Belanja Modal. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran memiliki nilai koefisien bernilai positif sebesar 0,196 dan nilai probabilitas 0,002 < 0,05. Artinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh signifikan positif terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian hipotesis ketiga (H3) diterima.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Alokasi Belanja Modal

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini, menunjukkan bahwa Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat signifikansi variabel Desentralisasi Fiskal terhadap Belanja Modal sebesar 0,767 lebih besar dari α = 0,05. Hal ini berarti bahwa hasil penelitian ini tidak berhasil membuktikan hipotesis yang penulis kemukakan sebelum dilakukan penelitian. Hasil tesebut menunjukkan bahwa setiap daerah belum mampu untuk mengoptimalkan potensi sumber daya daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, karena dalam desentralisasi fiskal masing-masing daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing, termasuk dalam pengelolaan keuangan daerah dan mengoptimalkan sumber daya daerah yang ada.

Dana transfer yang diterima pemerintah daerah lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja rutin dan belanja operasional lainnya, sehingga menyebabkan alokasi belanja modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur menjadi berkurang, yang dampaknya terjadi pada sedikitnya pembangunan infrastruktur daerah masing-masing, sehingga pelayanan terhadap masyarakat kuran efisien dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menjadi lambat. Tidak ditemukannya hubungan antara Desentralisasi Fiskal dan Alokasi Belanja Modal disebabkan karena rendahnya proksi dari PAD dan Dana Bagi Hasil pajak dan bukan pajak yang dialokasikan ke dalam Belanja Modal pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

Menurut M.P, Andos Desentralisasi fiskal (2006:7) merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Dengan adanya Desentralisasi Fiskal tersebut pemerintah kabupaten/kota seharusnya mengoptimalkan dana transfer yang berasal dari pemerintah pusat untuk digunakan semaksimal mungkin untuk penggunaan belanja daerah, tidak hanya untuk belanja pegawai dan belanja operasional saja. Tapi pemerintah kabupaten/kota juga harus mengalokasikan dana transfer tersebut untuk belanja modal yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur di suatu daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip dan tujuan.

Desentralisasi Fiskal menurut Mardiasmo (2009) yang salah satunya bertujuan untuk Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Badrudin (2011) yang menunjukkan desentralisasi fiskal berpengaruh tidak signifikan terhadap belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sularso dan Restianto (2011) menunjukkan bahwa derajat desentralisasi fiskal tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Arsa (2015) menunjukkan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.

Pengaruh Luas Wilayah terhadap Alokasi Belanja Modal

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari penelitian ini, menunjukkan bahwa Luas Wilayah Daerah berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat signifikansi variabel Luas Wilayah Daerah terhadap Belanja Modal sebesar 0,016 lebih kecil dari α = 0,05. Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa, daerah dengan wilayah yang lebih luas, Belanja Modalnya akan cenderung lebih tinggi. Hal tersebut dikarenakan, daerah yang wilayahnya lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak, pembangunan infrastrukturnya harus lebih banyak sehingga Belanja Modal yang dianggarkan harus lebih besar pula.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang – Undang nomor 33 tahun 2004, luas wilayah merupakan salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) bahwa secara parsial Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal. Memiliki infrastruktur yang baik merupakan salah satu tujuan dari pembangunan daerah, dengan infrastruktur yang maksimal pelaksanaan tugas pemerintahan dapat berjalan baik dan lancar. Menurut Kusnandar dan Siswantoro (2012) daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Daerah yang mempunyai wilayah yang lebih luas penduduknya lebih banyak sehingga untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat akan sarana dan prasarana serta menunjang berbagai produktivitas masyarakat di daerah tersebut, maka harus disediakan infrastruktur yang memadai yang sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk di daerah tersebut.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2011) dimana luas wilayah berpengaruh signifikan positif terhadap alokasi belanja modal. Alokasi belanja modal yang dilakukan oleh daerah sangat dipengaruhi oleh luas daerah itu sendiri. Luas wilayah suatu daerah dapat dijadikan ukuran suatu daerah untuk mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan terutama berupa pembangunan infrastruktur berupa jalan dan jaringan. Pembangunan infrastruktur berupa jalan akan mempermudah akses ke suatu daerah dan dapat memperlancar transportasi sehingga dapat memperlancar arus barang dari daerah satu ke daerah yang lain. Lancarnya arus barang dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya. Dan hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian daerah itu sendiri. Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan terhadap Alokasi Belanja Modal Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh dari penelitian ini, variabel SILPA berpengaruh secara signifikan positif terhadap alokasi Belanja Modal.

Ini menunjukkan bahwa semakin besar SILPA yang terdapat di kabupaten/kota maka semakin beasr pula belanja modal pada kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara. SILPA tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Besarnya porsi SILPA tahun lalu dalam struktur penerimaan pembiayaan dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam meningkatkan alokasi belanja di tahun berikutnya. SILPA merupakan suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SILPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SILPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan netto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008). Sebagian besar SILPA disumbangkan ke Belanja Langsung berupa Belanja Modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Jumlah Belanja Langsung berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan aset, dan sebagainya (Ardhini, 2011).

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ardhini (2011) yang menyatakan bahwa SILPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah, terbentuknya SILPA tahun anggaran sebelumnya dapat digunakan untuk pembiayaan pada periode berikutnya. SILPA terjadi apabila realisasi pendapatan lebih besar malampaui dari yang direncanakan, atau terjadi penghematan pada pos belanja dan transfer. Semakin tinggi SILPA memungkinkan penggunaan belanja daerah semakin besar salah satunya Belanja Langsung. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Kusnandar dan Siswantoro (2012) bahwa secara parsial Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh positif terhadap anggaran Belanja Modal. Menurut Kusnandar dan Siswantoro (2012) SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Azkiya (2011) yang menyatakan SILPA tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal.

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Desentralisasi Fiskal tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
  2. Luas Wilayah berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
  3. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh signifikan positif terhadap Pengalokasian Belanja Modal.

Keterbatasan Penelitian

  1. Sampel pada penelitian ini hanya terbatas pada Kabupaten / Kota di Provinsi Sumatera Utara.
  2. Variabel independen dalam penelitian ini hanya tiga variabel, sehingga dalam penelitian ini belum dapat menjelaskan hal-hal yang sangat mempengaruhi pengalokasian belanja modal. Hal ini dapat dilihat dari nilai R Square hanya 9,7%.

Saran

  1. Untuk peneliti selanjutnya disarankan agar lebih menambah kabupaten/kota yang akan diteliti. Yang mana dalam penelitian ini hanya dilakukan pada Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara.
  2. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal dan lebih mengembangkan variabel independen yang lain misalnya seperti Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan lain-lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. 2006. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah : Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa- Bali. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi (SNA).

Ardhini dan Handayani. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan (Studi Pada Kabupaten dan Kota Di Jawa Tengah.

Arsa, I Ketut. 2015. Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Kabupaten/Kota Se- Provinsi Bali.Tesis. Universitas Udayana

Badrudin, Rudy. 2011. Effect of Fiscal Decentralization on Capital Expenditure, Growth,and Welfare. Economic Journal of Emerging Markets. Vol.3 (3): 211-223.

Balitbang Propinsi NTT. 2008. Analisis Tentang Tingkat Efisiensi Dan Efektivitas Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Daerah di Provinsi NTT. Jurnal Litbang NTT. IV- 03.

Bastian, Indra. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta:  Erlangga.

Darwanto & Yulia Yustikasari. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.        Simposium Nasional Akuntansi X Makasar

Erlis, Nola. 2014. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Sisa Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal dengan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Pemekaran Daerah Pulau Sumatra, Jurnal Akuntansi

Halim, Abdul. 2001. Akuntansi Keuangan Daerah. Yogyakarta: Salemba Empat.

Hidayat, Mochamad Fajar. 2013. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal. Universitas Brawijaya, Malang.

Kawedar, Warsito dkk. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Semarang: Universitas Diponegoro.

Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. Malang: BPFE Unibraw.

Kusnandar, Dodik Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Universitas Indonesia. Jakarta.

M.P Hasugian, Andos. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Utara. Bogor. Institut Pertanian Bogor

Mahmudi. 2010.Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Penerbit Erlangga.Jakarta

Mardiasmo. 2009. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah: Serial Otonomi Daerah, Yogyakarta : Andi.

Menez, Ulva N. 2013. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Jumlah Penduduk terhadap alokasi Belanja Modal. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Nuarisa, Sheila Ardhian. 2012. Pengaruh PAD, DAU, dan DAK Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Universitas Negeri Semarang,          Indonesia. Accounting Analysis Journal 1 (3) (2013).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang        Pedoman Pengelolaan Keuangan Negara.

Peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.06/2007 Tentang Bagan Akun Standar

Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Sistem Akuntansi Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah

Prawirosetoto, Yuwonono, 2002, Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 2 Agustus, Unika Atmajaya, Jakarta

Rahmawati, Farida. 2008. Desentralisasi Fiskal, Konsep, Hambatan, dan Prospek” dalam Yustika, Ahmad  Erani, Desentralisasi Ekonomi di Indonesia (kajian Teorits dan Realitis empiris), Malang, Banyumedia

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor   29   Tahun   2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan           Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Republik Indonesia. 1999. Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Republik Indonesia. 1999. Undang- Undang Nomor 25 tahun 1999    Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Republik Indonesia. 2000. Undang- Undang Nomor 34 tahun 2000 Tentang Pajak Daerah.

Republik Indonesia. 2004. Undang- Undang No.32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Republik Indonesia. 2004. Undang- Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Cetakan Pertama. Penerbit Ghalia Indonesia: Jakarta.

Sidik, Machfud. 2002. Format Hubungan Keuangan pemerintah Pusat dan Daerah Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional. Seminar Nasional Publik Sektor, April, Jakarta

Solikin, Ikin. 2010. Hubungan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal di Jawa Utara.

Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta

Sularso, Haviid dan Yanuar E. Restianto. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Purwokerto. Universitas Jenderal Soedirman.

Syaiful. 2006. Pengertian Dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barag Dan Belanja Modal Dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan.

Tanzi, V. 1995. Fiscal Federalism and Decentralization: A Review of Some Efficiency and Macroeconomic Aspects,” in: Bruno, Michael, and Boris Pleskovic (eds.), Annual World Bank Conferenceon Development Economics 1995, World Bank, Washington, D.C.

www.djpk.go.id

Yovita, Farah Marta. 2011. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Provinsi Se- Indonesia Periode 2008 – 2010). Diponegoro Jurnal Of Accounting. UNDIP.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *